Selasa, 17 Januari 2012

PERKAWINAN VIA TELEPON

PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan perjanjian yang agung antara laki-laki dan perempuan. Perjanjian tersebut sangat berarti dan bermakna jika dalam perjanjian tersebut didasari dengan saling cinta dan niat untuk menjalankan perintah Allah dan Rasulnya. Perkawinan sangat tidak bermakna jika hanya didasari hawa nafsu semata. Salah satu tujuan perkawinan adalah melanjutkan dan menciptakan generasi atau keturunan serta memelihara nilai-nilai kehidupan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan memperoleh keturunan ini diwajibkan melaksanakan perkawinan terlebih dahulu. Dalam ajaran Islam anak yang baik datangnya dari keluarga yang baik dan menaati ajaran agamanya serta anak yang tidak menaati ajaran agamanya,bukan dari keluarga yang baik.
Hal ini bisa dilihat pada pergaulan masa sekarang, yang mana pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dengan santai dan tidak punya rasa malu dan takut melakukan hal-hal yang tidak seharusnya mereka lakukan sebelum mereka menikah. Sehingga tidak sedikit anak-anak yang dilahirkan merupakan hasil dari perkawinan setelah hamil bahkan anak hasil zina, yang paling menyedihkan bagi janin yang tidak pernah melihat dunia yang diakibatkan oleh pelaku tangan-tangan jahat yang merenggutnya. Problema ini membutuhkan solusi yang tepat karena menimbulkan keresahan di masyarakat jika tidak berusaha untuk diatasi akan semakin buruknya moral manusia ke depan.
Di Indonesia diatur yang mana dalam KHI, UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dibolehkan adanya perkawinan wanita hamil. Walaupun demikian tetap saja gunjingan-gunjingan dari masyarakat selalu ada, sehingga mencemarkan nama baik keluarga.

PEMBAHASAN
A. Perkawinan Wanita Hamil
Perkawinan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya. Oleh karena itu, masalah kawin dengan perempuan yang hamil diperlukan ketelitian dan perhatian yang bijaksana terutama oleh pegawai pencatat nikah. Hal itu, dimaksudkan adanya fenomena sosial mengenai kurangnya kesadaran masyarakat muslim terhadap kaidah-kaidah moral, agama, dan etika sehingga tanpa ketelitian terhadap perkawinan wanita hamil memungkinkan terjadinya seorang pria yang bukan menghamilinya tetapi ia menikahinya. Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam mengatur perkawinan, sebagaimana diungkapkan:
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dasar pertimbangan Kompilasi Hukum Islam terhadap perkawinan wanita hamil adalah Q.S An-nur (24) ayat 3:
•       •             Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.
Dalam Q.S An-Nur (24) ayat 26 pun diterangkan:
                •   
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).

Ayat Al-Quran di atas, menunjukkan bahwa kebolehan perempuan hamil kawin dengan laki-laki yang menghamilinya merupakan pengecualian. Oleh karena itu, pengidentifikasian dengan laki-laki musyrik menunjukkan keharaman wanita yang hamil dimaksud menjadi syarat larangan terhadap laki-laki yang baik untuk mengawininya. Persyaratan tersebut dikuatkan lagi dengan kalimat penutup pada ayat Al-Quran dalam Surah Al-Baqarah ayat 221 (wahurrima dzalika ‘ala almu’minin) bahwa selain laki-lakiyang menghamili perempuan yang hamil diharamkan oleh Allah untuk menikahinya.
Menurut salah satu riwayat sebab turunnya ayat 3 Surah An-Nur di atas adalah ‘Ata’,Ibn Abi Rabah, dan Qatadah menyebutkan bahwa ketika orang-orang Muhajirin tiba di Madinah, di antara mereka sebagian orang-orang fakir, tidak mempunyai harta dan mata pencarian. Sementara masyarakat di Madinah terdapat wanita-wanita pelacur yang menyewakan diri mereka, mereka pada saat itu termasuk wanita yang subur. Setiap orang dari mereka terdapat tanda papan di rumahnya. Sebagai contoh si A di sini menerima perzinaan. Hal dimaksud untuk mempermudah bagi orang-orang yang ingin melakukan perzinaan sehingga laki-laki pezina dan orang-orang musyrik silih berganti mendatangi rumah mereka melakukan perzinaan. Oleh karena itu, orang-orang fakir dari kaum Muhajirin ada yang berpendapat untuk ingin mengawini para pelacur supaya dapat kekayaan dari mereka. Kemudian kaum Muhajirin yang berpendapat demikian, memohon izin kepada Nabi Muhammad saw., maka turulah Surah An-Nur ayat 3.
Berdasarkan sebab turunnya Surah An-Nur ayat 3, menurut Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, dapat diketahui bahwa Allah mengharamkan seorang laki-laki yang bukan menghamili mengawini wanita yang hamil karena zina. Hal ini bertujuan untuk menjaga kehormatan laki-laki yang beriman. Selain itu, untuk mengetahui status hukum anak yang lahir sebagai akibat perzinaan.

B. Implikasi Status Anak Yang dilahirkan Dari Perkawinan Wanita Hamil
1.Tinjauan Hukum Islam

Dalam Islam anak adalah anak yang dilahirkan. Anak tercipta melalui ciptaan Allah dengan perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan kelahirannya. Seorang anak yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Dan sahnya seorang anak di dalam Islam adalah menentukan apakah ada atau tidak hubungan kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki. Dalam hal hubungan nasab dengan bapaknya tidak ditentukan oleh kehendak atau kerelaan manusia, namun ditentukan oleh perkawinan yang dengan nama Allah disucikan.
Mengenai status anak luar nihah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris.
Dalam hal anak diluar nikah ini, penulis membagi ke dalam dua kategori :

a. Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah.
Menurut Imam Malik dan imam Syafi’i, anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah.22 Perbedaan pendapat ini disebabkan karena terjadinya perbedaan ulama dalam mengartikan lafaz fiarsy, dalam hadist nabi :
“anak itu bagi pemilik tilam dan bagi pezina adalah hukum rajam”.
Mayoritas ulama mengartikan lafadz firasy menunjukkan kepada perempuan, yang diambilkan ibarat dari tingkah iftirasy (duduk berlutut). Namun ada juga ulama yang mengartikan kepada laki-laki (bapak).

b. Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah
Status anak diluar nikah dalam kategiri yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li.an, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut:
(a). tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memebrikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum. (b). tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan. (c). bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.

2. Tinjauan Hukum Positif di Indonesia

Seorang anak sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Kepastian seorang anak sungguh-sungguh anak ayahnya tentunya sukar didapat. Pembuktian keturunan harus dilakukan dengan surat kelahiran yang diberikan oleh Pegawai Pencatatan Sipil. Jika tidak mungkin didapatkan surat kelahiran, hakim dapat memakai bukti-bukti lain asal saja keadaan yang nampak keluar, menunjukkan adanya hubungan seperti antara anak dengan orang tuanya.
Hukum perkawinan di Indonesia adalah segala peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Hukum perkawinan di Indonesia ini meliputi : UU Perkawinan No. 1 1974, PP No. 9 1975, KHI.
Nasab dalam hukum perkawinan Indonesia dapat didefinisikan sebagai sebuah hubungan darah (keturunan) antara seorang anak dengan ayahnya, karena adanya akad nikah yang sah. Hal ini dapat dipahami dari beberapa ketentuan, diantaranya pasal 42 dan 45 serta 47 undang-undang perkawinan. Pasal 42 dinyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 45 (1) kedua orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) ini berlaku sampai anak itu kawin atau anak itu dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus. Pasal 47 (1) anak yang belum mencapai 18 (delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. Dan pada pasal 98 dan 99 kompilasi hukum islam. Pasal 98 menyatakan (1) batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsingkan perkawinan. (2) orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. (3) pangadilan agama adapat menunjuk salah satu kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
Pasal 99 : anak yang sah adalah (1) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan sah. (2) hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim yang dilahirkan oleh isteri tersebut.29
Dalam hukum perkawinan Indonesia hubungan ini tidak dititik beratkan pada salah satu garis keturunan ayah atau ibunya, melainkan kepada keduanya secara seimbang. Namun seorang anak menjadi tanggungjawab bersama antara isteri dan suami.
Seorang anak, dilihat dalam Hukum Perkawinan Indonesia secara langsung memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Ini dapat dipahami dari pasal 43 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.












PENUTUP

Status hukum anak hasil dari perkawinan wanita hamil dalam hukum Islam adalah apabila anak tersebut lahir dari wanita hamil yang kandungannya minimal berusia 6 (enam) bulan dari perkawinan yang sah atau kemungkinan terjadinya hubungan badan antara suami isteri dari perkawinan yang sah tersebut maka anak itu adalah anak yang sah. Dan dalam hukum positif di Indonesia status hukum anak hasil dari perkawinan wanita hamil adalah anak yang sah karena baik Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinanan dan Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat atau dalam perkawinan yang sah.
Hak anak yang dilahirkan dari perkawinan wanita hamil menurut hukum Islam apabila anak tersebut dilahirkan lebih dari enam bulan masa kehamilan dari perkawinan sah ibunya atau dimungkinkan adanya hubungan badan, maka anak tersebut adalah anak sah sehingga memiliki hak terhadap kedua orang tuanya, yaitu hak radla’, hak hadlanah, hak walayah (Perwalian), hak nasab, hak waris dan hak nafkah. Dan apabila anak tersebut dilahirkan kurang dari enam bulan masa kehamilan dari perkawinan sah ibunya atau dimungkinkan adanya hubungan badan maka anak tersebut dalam hukum Islam adalah anak tidak sah sehingga anak hanya berhak terhadap ibunya. Sedangkan menurut hukum positif di Indonesia bahwa anak yang lahir dari perkawinan wanita hamil adalah anak sah dari kedua orang tuanya, sehingga ia memiliki hak-hak yang wajib dipenuhi oleh kedua orang tuanya yaitu kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan, sebagai wali dalam perkawinan, hak nasab dan hak kewarisan.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Kompilasi Hukum Islam. Surabaya: Kesindo Utama.
http://pdf. Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional. Akses 1 April 2011.
http://Pdf perkawinan wanita hamil. Fitrian Noor. Akses 1 April 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar